Oleh
Latif Fianto
Saya mengetik tulisan sederhana ini
tidak dalam keadaan bercanda, mabuk, apalagi dalam keadaan lelap. Tulisan ini
berawal dari ide sederhana yang menggeliat tumbuh di kepala saat saya berada di
kamar mandi. Sekiranya bisa, jangan berpikir yang macam-macam mengenai apa yang
saya lakukan di kamar mandi. Saya tidak sedang buang hajat, apalagi menikahi
kelamin sendiri. Yang pasti, ide itu mengenai momentum peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW di lingkungan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) Komisariat Country.
Kenapa ide tersebut harus muncul di
kamar mandi? Barangkali ada beberapa teman bertanya demikian. Saya menggunakan term “teman” agar tidak terlalu kentara
bahwa saya sendiri yang bertanya seperti itu. Kenapa ide itu tidak muncul
ketika sedang berada di masjid atau sedang berdzikir kepada Allah? Bukankah itu
sebuah bentuk penghinaan terhadap organisasi gerakan terbesar di Indonesia ini
dengan 200 lebih cabang yang sudah berdiri? Tentu akan lain ceritanya bila ide
itu muncul di masjid, yakni rumah Allah.
Kalau pertanyaan itu benar-benar
diajukan, sudah barang tentu saya menyiapkan jawaban paling bijak yang bisa
saya berikan. Hehe..
Pertama,
ketika sedang berada di kamar mandi, ide-ide seperti timbul tenggelam berebut
ingin keluar. Betulkah demikian? Jawabannya tak perlu diutarakan. Cukup
rasakan, dan kalau memang benar, tidak menjadi persoalan untuk diakui. Ketika berada
di kamar mandi, banyak di antara kita terjebak pada perenungan yang dalam dan
panjang. Tentu yang lelaki tidak merenungkan apalagi membayangkan tubuh Selena
Gomes atau Ariel Tatum yang aduhai, sementara yang perempuan tidak sedang
membayangkan ketampanan Muhammad Al Ghazali atau Steven William, dua pemuda
tampan yang saat ini sedang mencapai puncak popularitas dan menjadi idola kaum
perempuan.
Kedua,
sebab kalau di masjid atau sedang keadaan berdzikir, berarti kita sedang
melakukan komunikasi intim dengan Allah. Dalam kondisi demikian, kita tidak
mungkin merenung atau memikirkan ide apa yang akan ditulis. Hal itu hanya akan
menyebabkan hubungan kita dengan Allah retak. Kalau tidak percaya, mari kita
perhatikan penjelasan Ach. Dhofir Zuhry, penulis buku Filsafat Timur. Ia
mengatakan kurang lebih begini, bila engkau sedang menghadap Allah, berdzikir
atau sedang berdoa, jauhkanlah urusan duniamu. Acuhkan dulu smartphone, BlackBerryMessenger, WhatsApp,
twitter dan sejenisnya. Menyatulah
dengan Allah, seluruh konsentrasi harus terpusat kepada-Nya agar doa dan
taubatmu diterima.
Saya menulis ini bukan maksud hendak
mengganti atau melanjutkan estafet perjuangan dakwah para ustadz. Tapi, kalau
ternyata Allah menghendaki demikian, sebenarnya tidak terlalu menjadi
persoalan. Hanya saja saya sanksi. Di negeri ini sudah banyak para penceramah –
saya enggan menyebutnya ustadz amplop, ustad kamera, yang kalau tidak lucu dan
unik tidak akan laku. Kita tidak sedang butuh para orator, penceramah, yang
hanya manis di bibir tapi kosong dalam perbuatan. Kita sedang butuh suri
tauladan yang baik. Teringat sabda nabi Muhammad SAW, Saya diutus ke muka bumi ini semata-mata hanya untuk menyempurnakan
akhlak.
Menyinggung soal Nabi, baiklah, kita
masuk pada inti tulisan ini. Selama tiga minggu berturut-turut, peringatan
Maulid Nabi begitu ramai di lingkungan PMII Country. Minggu pertama, kegiatan
tersebut digelar Rayon Ad-Dakhil Fisip. Yang didaulat menjadi penceramah adalah
Ustad Khairul Anam, penceramah yang seringkali mengisi khutbah Jum'at di masjid
Baitul Jannah, aktivis PMII Country lebih akrab menyebutnya "Masjid
Mulkan". Acara itu dilanjutkan dengan pawai shalawat, melebur dengan
warga. Ini sedikit lebih keren karena mampu menghadirkan warga sekitar. Apakah
benar demikian? Dan seharusnya itu yang perlu dilakukan PMII ke depan. Melebur
bersama masyarakat, bukan malah menjadi organisasi elit yang lupa pada
masyarakat bawah.
Minggu kedua, kegiatan serupa diadakan
oleh kerjasama dua lembaga, yaitu Rayon Revolusi Fakultas Ekonomi dengan Rayon
Nusantara, gabunganFakultas Keperawatan, Pertanian dan Teknik. Penceramah yang
dihadirkan adalah Ach Dhofir Zuhry, penulis yang sekaligus Ketua Sekolah Tinggi
Filsafat Al Farabi, Kepanjen Malang.
Minggu ketiga, kegiatan dengan kemasan
serupa digelar oleh Pengurus Komisariat PMII Country. Penceramahnya adalah
Ustad Tamimullah. Sebagian orang mengenalnya sebagai ustad cinta, atau ustad
yang gemar sekali mempropaganda keindahan poligami. Pada pembahasan ini, saya
yakin ada banyak perempuan yang tidak terlalu suka membacanya. Daripada harus dipoligami, mending jadi
perawan tua seumur hidup, kira-kira begitu hal yang mesti terlontar dari
bibir manis setiap perempuan.
Sebagai seseorang yang sudah hengkang
dari pergulatan keorganisasian di ranah Komisariat ke bawah, saya melihat ada
kemajuan signifikan. Paling tidak, secara fisik, kegiatan-kegiatan keagamaan
mulai banyak digelar, meski sebenarnya lebih dipengaruhi oleh momentum.
Meminjam bahasa Ach Dhofir, ini adalah political
commitment. Sebagai orang islam, apalagi berada di bawah naungan Ahlussunnah Wal Jamaah, sangat tidak
elok sekali bila tidak menggelar peringatan Maulid Nabi. Oleh sebab itu, dalam
satu momentum, ada tiga kali kegiatan sejenis yang secara kemasan tak jauh berbeda
satu sama lain. Dipandang dari motif political
commitment, ini adalah pertarungan eksistensi – kalau tidak mau dibilang
pertarungan menjaga gengsi.
Selain daripada itu, tiga kegiatan
tersebut bisa ditilik dari motif lainnya, yaitu intelektual commitment. Selain ditengarai ada pertarungan
eksistensi, kegiatan tersebut tentu mengarah pada peningkatan kapasitas dan
ketajaman intelektualitas. Sebab, pada zaman digital ini, acapkali kita lupa
untuk menajamkan kecerdasan intelektual. Kita lebih banyak menenggelamkan diri
dalam urusan percintaan, tidur, main playstation,
atau yang paling keren sedikit main COC, katanya melatih kemampuan politis
dalam meramu serangan dan bertahan.
Motif terakhir, ini lebih agamis dan
sakral, yaitu spiritual commitment.
Kegiatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tentu paling mulia bila diniatkan
untuk membuktikan kecintaan kita kepada Nabi. Menambah wawasan keagamaan dan
semakin mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Cinta kepada Nabi ibarat jatuh
cinta kepada kekasih. Bibir selalu basah menyebut-nyebut namanya. Hati selalu
cenderung mengingatnya.
Dengan demikian, semoga kita tidak
sekadar terjebak pada ritual-ritual keagamaan tahunan. Dengan kegiatan tersebut
digelar di masjid, mushallah dan tempat-tempat umum lainnya, berarti kader PMII
telah memiliki kesadaran untuk hidup berdampingan dengan masyarakat. Tugas
kuliah, manajemen kaderisasi, mempertajam pisau analisis kader memang penting
dan perlu. Tapi ingat, PMII memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan
kontribusi positif pada masyarakat di
sekelilingnya.
Keberadaan kegiatan sudah cukup untuk
membuktikan bahwa PMII masih ada atau exist. Namun, keberadaan PMII di
tengah-tengah masyarakat tidak cukup kalau hanya berhenti pada level ada. Ia
harus menaikkan levelnya pada yang lebih tinggi, yakni “mengada”. Meminjam
bahasa K.H. Toto Tasmara, “mengada” di sini berarti secara aktif dan
bertanggungjawab melakukan perbaikan-perbaikan untuk menuju derajat yang lebih
tinggi, baik secara batini ruhaniah maupun secara lahiri wujudiah.
Selebihnya, mari bangun dan lestarikan
budaya ilmiah di lingkungan kita. Kata Imam Az-Zarnuji, pengarang kitab Ta’limul Muta’allim – Ach Dhofir Zuhry
menyebutnya profesor pendidikan – , Belajarlah!
Sebab tak ada manusia yang terlahir pandai.
Post a Comment