Klik Disini
BREAKING

Sunday, 17 January 2016

Bom Itu Tidak Meledak, Tapi Masih Menggantung Di Dadamu


Oleh Latif Fianto

Kira-kira ia akan berkata begini, tadi pagi bom meledak di Jakarta, orang-orang menyebutnya Bom Sarinah, temuan terakhir 7 orang tewas. Lalu himbauan datang, jangan pergi ke tempat-tempat mewah, seperti restoran-restoran berlabel atau beraroma Eropa, tempat-tempat begitu jadi incaran empuk sang peneror.

Para orang tua khawatir. Anaknya disuruh berdiam diri saja di rumah. Beberapa dilarang pergi ke kantor tempatnya bekerja. Orang-orang melotot memandangi layar televisi. Berjam-jam berita bom bunuh diri dan baku tembak itu disiarkan begitu mengalir, dari hulu ke hilir. Nyaris tak ada napas untuk sekadar menikmati menu makan siang. Doa-doa dan kedukaan bertengger di berbagai dinding sosial media. Pray for Jakarta, Save Jakarta, katanya begitu beberapa status di dinding Blackberry Messanger.

Para pengamat berujar, bisa jadi itu adalah kelanjutan aksi pengeboman yang sempat menuai luka di Paris, Prancis. Yang lain berkicau, benar-benar biadab para pelaku teror itu. Sebagian yang lain memberikan awas, bisa jadi itu pengalihan isu, belakangan ini pemerintah sedang melakukan komunikasi intim mengenai saham Freeport, agar luput dari perhatian masyarakat, dibikinlah lorong pengalihan perhatian, "Ledakkan bom saja!".

Benar adanya, perhatian masyarakat digiring pada tontonan baru, hangat dan meresahkan. Kini pemberitaan di berbagai televisi menyorot ledakan itu. Beberapa televisi bahkan menyediakan ruang siang selebar-lebarnya mengenai tragedi itu. Mulai dari talkshow, berita yang diulang-ulang, berita investigasi hingga pengamatan-pengamatan spekulif meski ditilik dari berbagai aspek keilmuan. Bisa ditebak, salah satu stasiun televisi akan membuat laporan utama, juga laporan khusus mengenai peristiwa itu, berhari-hari bahkan bisa jadi berminggu-minggu. Media seolah bilang begini kepada konsumennya, "Dalam beberapa hari ke depan ini, kalian tidak boleh berpaling dari berita hot ini!".

Kata orang-orang gerakan yang kritis melihat setiap kejadian, itu adalah bagian polical setting yang dilakukan pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum, untuk mencapai suatu target kebijakan politik, agar tak menjadi perhatian masyarakat, pemerintah selalu menyajikan tontonan baru pada mereka yang awam. Lalu di balik podium, orang-orang penting di tubuh negeri ini akan berpidato, seolah-seolah kejadian itu di luar kendali kekuasaan.

Lain halnya dengan mahasiswa Ilmu Komunikasi, mereka akan mengatakan, itu agenda setting, kawan! Tak seharusnya mahasiswa, yang katanya cerdik-cendikia, termakan oleh giringan media. Mahasiswa harus mampu menfilter dan cerdas mengkonsumsi setiap berita yang disajikan media. Pada titik ini, keberadaan literasi, sebagai upaya cerdas memahami konten media perlu dimiliki oleh mahasiswa, dan masyarakat secara umum. Bila tidak demikian, maka teori jarum hipodermik akan benar-benar membuktikan ketajamannya dalam mempengaruhi kognisi khalayak.

Sementara itu, mahasiswa tingkat akhir akan berteriak, bagaimana mau berpikir tentang bom, teror, dan semacamnya, ini skripsi belum kelar. Begitulah kira-kira kata mereka yang masih terseok-seok menyalakan laptop, maksudnya hendak menggarap skripsi, eh taunya menonton film, entah film berjenis apa, absurd.

Ah, alamak! Tak usah lah berpikir tentang bom, urusan perut masih belum selesai ini, kata sebagian kelompok lain. Beberapa orang menengadahkan tangan menggiring amin, semoga Indonesia selalu aman dan terkendali. Tak ada kekerasan, mulai dari yang terbungkus dalam kategori budaya, sosial, ekonomi dan bahkan radikalisasi agama.

Bom itu kan meledak, menggema, riuhlah suara, dari zaman lampau hingga sekarang sifat bom memang begitu. Tak usah lah cemas, banyak-banyak saja mendekatkan diri pada sang Ilahi, seorang gadis bertubuh subur berkata pada seorang lelaki, kekasihnya. Si lelaki menatap mata perempuan itu, lalu berujar dengan penggalan sebuahsajak karya Syarifudin Arifin.

Bom Di Dadamu Itu, Sayang!

Aku hanya tersenyum
melihat dua bom menggantung di dadamu
dan sangat ingin mengigit sumbunya
agar segera meledak

Si perempuan tersenyum manis. Lalu mendekatkan wajahnya, selanjutnya hanya alam yang mengaturnya romantis. Mengenai ledakan bom itu, kini kita sedang menunggu, bagaimana mata dunia mencurahkan perhatiannya pada Indonesia.


Latif Fianto, lahir di Sumenep, pecinta buku, menulis cerpen dan esai, sekarang tinggal di Malang bergiat di Komunitas Sastra Malam Reboan. 

About ""

Terimakasih Sudah Berkunjung di JAWATIMURPOST, Kritik dan Saran Kami sangat Mengharapkan. Jika Informasi Yang Kami Sajikan Memuaskan Anda, Shere And Like Link Website dan Fans Page Kami, Ok!!.

Post a Comment

 
Copyright © 2013 JAWA TIMUR POST
Design by FBTemplates | Distributed by Kaizentemplate.