Oleh
Latif Fianto
Kira-kira ia akan berkata begini, tadi
pagi bom meledak di Jakarta, orang-orang menyebutnya Bom Sarinah, temuan
terakhir 7 orang tewas. Lalu himbauan datang, jangan pergi ke tempat-tempat
mewah, seperti restoran-restoran berlabel atau beraroma Eropa, tempat-tempat
begitu jadi incaran empuk sang peneror.
Para orang tua khawatir. Anaknya disuruh
berdiam diri saja di rumah. Beberapa dilarang pergi ke kantor tempatnya
bekerja. Orang-orang melotot memandangi layar televisi. Berjam-jam berita bom
bunuh diri dan baku tembak itu disiarkan begitu mengalir, dari hulu ke hilir. Nyaris
tak ada napas untuk sekadar menikmati menu makan siang. Doa-doa dan kedukaan
bertengger di berbagai dinding sosial media. Pray for Jakarta, Save
Jakarta, katanya begitu beberapa status di dinding Blackberry Messanger.
Para pengamat berujar, bisa jadi itu
adalah kelanjutan aksi pengeboman yang sempat menuai luka di Paris, Prancis.
Yang lain berkicau, benar-benar biadab para pelaku teror itu. Sebagian yang
lain memberikan awas, bisa jadi itu pengalihan isu, belakangan ini pemerintah
sedang melakukan komunikasi intim mengenai saham Freeport, agar luput dari
perhatian masyarakat, dibikinlah lorong pengalihan perhatian, "Ledakkan
bom saja!".
Benar adanya, perhatian masyarakat
digiring pada tontonan baru, hangat dan meresahkan. Kini pemberitaan di
berbagai televisi menyorot ledakan itu. Beberapa televisi bahkan menyediakan
ruang siang selebar-lebarnya mengenai tragedi itu. Mulai dari talkshow, berita
yang diulang-ulang, berita investigasi hingga pengamatan-pengamatan spekulif
meski ditilik dari berbagai aspek keilmuan. Bisa ditebak, salah satu stasiun
televisi akan membuat laporan utama, juga laporan khusus mengenai peristiwa
itu, berhari-hari bahkan bisa jadi berminggu-minggu. Media seolah bilang begini
kepada konsumennya, "Dalam beberapa hari ke depan ini, kalian tidak boleh
berpaling dari berita hot ini!".
Kata orang-orang gerakan yang kritis
melihat setiap kejadian, itu adalah bagian polical
setting yang dilakukan pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum, untuk
mencapai suatu target kebijakan politik, agar tak menjadi perhatian masyarakat,
pemerintah selalu menyajikan tontonan baru pada mereka yang awam. Lalu di balik
podium, orang-orang penting di tubuh negeri ini akan berpidato, seolah-seolah
kejadian itu di luar kendali kekuasaan.
Lain halnya dengan mahasiswa Ilmu
Komunikasi, mereka akan mengatakan, itu agenda
setting, kawan! Tak seharusnya mahasiswa, yang katanya cerdik-cendikia,
termakan oleh giringan media. Mahasiswa harus mampu menfilter dan cerdas
mengkonsumsi setiap berita yang disajikan media. Pada titik ini, keberadaan
literasi, sebagai upaya cerdas memahami konten media perlu dimiliki oleh
mahasiswa, dan masyarakat secara umum. Bila tidak demikian, maka teori jarum
hipodermik akan benar-benar membuktikan ketajamannya dalam mempengaruhi kognisi
khalayak.
Sementara itu, mahasiswa tingkat akhir
akan berteriak, bagaimana mau berpikir tentang bom, teror, dan semacamnya, ini
skripsi belum kelar. Begitulah kira-kira kata mereka yang masih terseok-seok
menyalakan laptop, maksudnya hendak menggarap skripsi, eh taunya menonton film,
entah film berjenis apa, absurd.
Ah, alamak! Tak usah lah berpikir
tentang bom, urusan perut masih belum selesai ini, kata sebagian kelompok lain.
Beberapa orang menengadahkan tangan menggiring amin, semoga Indonesia selalu
aman dan terkendali. Tak ada kekerasan, mulai dari yang terbungkus dalam
kategori budaya, sosial, ekonomi dan bahkan radikalisasi agama.
Bom itu kan meledak, menggema, riuhlah suara, dari zaman lampau hingga
sekarang sifat bom memang begitu. Tak usah lah cemas, banyak-banyak saja
mendekatkan diri pada sang Ilahi, seorang gadis bertubuh subur berkata pada
seorang lelaki, kekasihnya. Si lelaki menatap mata perempuan itu, lalu berujar
dengan penggalan sebuahsajak karya Syarifudin Arifin.
Bom Di Dadamu Itu,
Sayang!
Aku hanya tersenyum
melihat dua bom
menggantung di dadamu
dan sangat ingin
mengigit sumbunya
agar segera meledak
Si perempuan tersenyum manis. Lalu
mendekatkan wajahnya, selanjutnya hanya alam yang mengaturnya romantis.
Mengenai ledakan bom itu, kini kita sedang menunggu, bagaimana mata dunia
mencurahkan perhatiannya pada Indonesia.
Latif Fianto, lahir
di Sumenep, pecinta buku, menulis cerpen dan esai, sekarang tinggal di Malang
bergiat di Komunitas Sastra Malam Reboan.



Post a Comment